
“Cepat! Temukan dia sekarang juga!” teriak seseorang.
Aku ingin berlari. Menghindar darinya. Namun,
tubuhku tertarik cepat. Jujur aku tidak dapat berkutik setelah
tangannya menggenggamku. Diam dan terdiam yang kulakukan. Wajah besarnya
mendekatiku. Aku sempat takut. Matanya juga ikut memelototiku tajam.
Nyaris keluar bola matanya. Sedangkan sorot matanya mencari secara
detail kemolekan tubuhku yang akan diambil sebagai kepentingan yang bisa
dianggap kebaikan jaminan masa depan untuknya. Oh …Tuhan, aku benar-benar terkepung sekarang. Berilah azab untuk orang ini, agar segera sadar terhadap apa yang dilakukan, bahwa ini adalah salah.
Batinku berdoa. Tangannya mulai meremasku keras. Hingga aku merasakan
sakit yang begitu sakit, kemudian semuanya terhenti sesaat. Gelap! Dia
meletakkanku dalam kegelapan. Aku disembunyikan dalam sepi laci meja.
Seseorang mendekatinya dan memperhatikan apa yang terjadi. Tetapi,
semuanya terbungkus rapi oleh pelaku jahanam ini. Karena, seseorang
tersebut tidak mengetahui apa yang terjadi denganku dan dengannya. Tidak
lama kemudian, badanku mulai terremas kembali. Tertarik kekanan, ke
kiri, ke depan dan ke belakang. Astaga Tuhan… terlalu lelah hariku jika
hanya diperlakukan seperti ini. Sebegitu rendahnyakah aku di mata
seorang anak manusia? Tubuhku masih saja diseret-seret. Inginku
berontak. Tapi, sesungguhnya aku tidak kuasa. Dia telah menguasai dari
ujung satu ke ujung lainnya tubuhku. Perbuatan yang sama diulanginya
lagi dan lagi. Aaah mengapa? Mengapa dan mengapa? Aku ditakdirkan oleh
Tuhan untuk membisu. Aku bosan diam! Haruskah aku berteriak lantang.
Menembus setiap celah dan lubang. Juga kepada telinga semua orang.
Memberitahukan kepada wanita separuh baya itu yang duduk mengawasi
anak-anaknya dalam ruang kelas. Bahwa, anak manusia ini sangatlah tidak
pantas mendapatkan semua itu dengan cara memanfaatkanku. Keparat!
Mendekati lima menit terakhir wanita separuh baya itu melangkahkan
kakinya ke arah Ulti yang terduduk manis menggunakanku seenakknya secara
curang. Sebelum bel itu mengeluarkan suara nyaring yang menandakan
waktu telah usai aku berpindah tempat. Di genggaman sebuah tangan yang
lebih kasar lagi sadis.
“Apa ini Ti? Ulti.” selembar kertas
diletakkan didepan pandangan Ulti. Dengan jari telunjuknya yang menunjuk
si kertas di atas meja. “Kamu membawa kertas contekan di ulangan yang
ibu berikan?” nada suaranya mulai meninggi.
“Bu… bukan bu. Itu bukan milik saya.” Ulti mencoba mengelak.
“Apakah kamu ingin mencari nilai tertinggi dan ingin kau gunakan untuk penjamin kebaikan masa depanmu nanti?
Comments
Post a Comment