Selembar Kertas

1351302183466238716




“Cepat! Temukan dia sekarang juga!” teriak seseorang.
Aku ingin berlari. Menghindar darinya. Namun, tubuhku tertarik cepat. Jujur aku tidak dapat berkutik setelah tangannya menggenggamku. Diam dan terdiam yang kulakukan. Wajah besarnya mendekatiku. Aku sempat takut. Matanya juga ikut memelototiku tajam. Nyaris keluar bola matanya. Sedangkan sorot matanya mencari secara detail kemolekan tubuhku yang akan diambil sebagai kepentingan yang bisa dianggap  kebaikan jaminan masa depan untuknya. Oh …Tuhan, aku benar-benar terkepung sekarang. Berilah azab untuk orang ini, agar segera sadar terhadap apa yang dilakukan, bahwa ini adalah salah. Batinku berdoa. Tangannya mulai meremasku keras. Hingga aku merasakan sakit yang begitu sakit, kemudian semuanya terhenti sesaat. Gelap! Dia meletakkanku dalam kegelapan. Aku disembunyikan dalam sepi laci meja. Seseorang mendekatinya dan memperhatikan apa yang terjadi. Tetapi, semuanya terbungkus rapi oleh pelaku jahanam ini. Karena, seseorang tersebut tidak mengetahui apa yang terjadi denganku dan dengannya. Tidak lama kemudian, badanku mulai terremas kembali. Tertarik kekanan, ke kiri, ke depan dan  ke belakang. Astaga Tuhan… terlalu lelah hariku jika hanya diperlakukan seperti ini. Sebegitu rendahnyakah aku di mata seorang anak manusia? Tubuhku masih saja diseret-seret. Inginku berontak. Tapi, sesungguhnya aku tidak kuasa. Dia telah menguasai dari ujung satu ke ujung lainnya tubuhku. Perbuatan yang sama diulanginya lagi dan lagi. Aaah mengapa? Mengapa dan mengapa? Aku ditakdirkan oleh Tuhan untuk membisu. Aku bosan diam! Haruskah aku berteriak lantang. Menembus setiap celah dan lubang. Juga kepada telinga semua orang. Memberitahukan kepada wanita separuh baya itu yang duduk mengawasi anak-anaknya dalam ruang kelas. Bahwa, anak manusia ini sangatlah tidak pantas mendapatkan semua itu dengan cara memanfaatkanku. Keparat! Mendekati lima menit terakhir wanita separuh baya itu melangkahkan kakinya ke arah Ulti yang terduduk manis menggunakanku seenakknya secara curang. Sebelum bel itu mengeluarkan suara nyaring yang menandakan waktu telah usai aku berpindah tempat. Di genggaman sebuah tangan yang lebih kasar lagi sadis.
“Apa ini Ti? Ulti.” selembar kertas diletakkan didepan pandangan Ulti. Dengan jari telunjuknya yang menunjuk si kertas di atas meja. “Kamu membawa kertas contekan di ulangan yang ibu berikan?” nada suaranya mulai meninggi.
“Bu… bukan bu. Itu bukan milik saya.” Ulti mencoba mengelak.
“Apakah kamu ingin mencari nilai tertinggi dan ingin kau gunakan untuk penjamin kebaikan masa depanmu nanti?
Lembar jawab Ulti kemudian di ambil oleh gurunya. Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengabulkan doaku.

Comments